By. Isna Aina HidayantiKubuka lembar demi lembar album kenangan tentang kita. Kuusap butiran bening di sudut mata, hati ini memendam rindu yang kian menyesakkan dada. Semua memori tentang dirinya satu per satu hadir di depan pelupuk mata.
Dua belas tahun yang lalu, Andrian melamarku. Hati ini berbunga-bunga, karena perjalanan cinta kami berliku. Awalnya orang tuaku menentang, karena perbedaan adat. Namun, kegigihan dan ketulusan yang ditunjukkannya ke keluargaku, meluluhkan hati mereka. Hal itu membuat cintaku semakin besar padanya. Apa lagi setelah satu tahun pernikahan kami, lelaki kecilku pun hadir melengkapi kebahagiaan kami. Sungguh ini semua adalah anugrah yang Allah berikan kepadaku. Nikmat mana lagi yang aku dustakan.
Karir Andrian pun melesat tajam hingga menduduki jabatan manager di sebuah perusaaan properti ternama di kotaku. Tentunya fasilitas yang diterimanya juga bertambah. Kami pun pindah ke rumah yang lebih besar dan lebih nyaman. Kebahagiaan kami pun semakin bertambah. Hingga pada tahun ke dua belas, ada desas desus yang menimpa Andrian.Pagi itu setelah Andrian berangkat ke kantor, dan Zein berangkat ke sekolah, aku segera menuju ruang kerja yang terletak di samping rumah. Aku orangnya tak mau diam dan berpangku tangan. Usaha yang aku rintis sejak sebelum menikah, kini telah berkembang, sebuah toko online yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Aku hanya memantaunya dari rumah, anak buahku yang menjalankannya. Aku tinggal menerima laporan dan mengeceknya saja. Pundi-pundi rupiah mengalir ke kantong kami.Benda pipih yang ada di depanku berdering.
[Bu Rara, maaf bisa kita bertemu, ada yang ingin saya sampaikan ke Ibu.][Ada apa ya, Ris?][Ada yang perlu Ibu ketahui tentang pak Andrian.][Baiklah, di mana, kapan?][Nanti pas makan siang, di Kemuning Resto, ya Bu.][Oke.]
Aku sambar kontak mobil yang tergeletak di meja. Lalu kulajukan mobil membelah kemacetan menuju ke Kemuning Resto.Aku langsung menuju tempat di mana Rista menungguku.
“Ada kabar apa yang akan kau ceritakan padaku, Ris?”“Maaf, Bu. Sebenarnya saya tak tega mengatakannya. Namun, Ibu harus tahu hal ini. Agar Ibu bisa segera bertindak.”“Ngomongnya yang jelas Ris, aku tak paham.”“Begini, Bu. Tapi tolong jangan katakan sama bapak jika Ibu mengetahuinya dari saya. Nanti saya bisa dipecat.”
Kutatap pegawai suamiku itu. Dia sudah aku anggap sebagai adik, yang selalu memberikan informasi apa pun tentang mas Andrian selama di kantor. Hatiku merasa gelisah, tak pernah Rista setegang ini.
“Ceritakan saja, Ris. Aku siap mendengar apa pun tentang mas Andrian!”“Baik, Bu.”
Rista menceritakan semua yang dia ketahui kepadaku. Jujur, hatiku begemuruh. Rasa jengkel, marah, cemburu, dan kecewa beraduk menjadi satu. Aku tarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri ini. Aku tak boleh emosi, aku harus bersabar, Allah memberikan ujian lengkap dengan solusinya. Kucoba untuk tersenyum, meskipun hati ini terasa perih.
“Terima kasih infonya, Ris. Biar Ibu nanti akan cari solusinya,” jawabku. Kulihat keningnya berkerut.“Ibu tidak marah?” tanyanya heran.“Rista. Sebagai seorang wanita, jelas tak ingin cintanya diduakan. Sejujurnya Ibu sakit hati, marah, kecewa, dan segala rasa bercampur di sini, Ris.” Aku menunjuk dadaku. “Namun, Ibu yakin seyakin-yakinnya. Allah akan memberi jalan yang terbaik buat Ibu dan Bapak.”
Tampak netra Rista berkaca-kaca, dia bangkit dan memelukku.
“Saya salut dengan kesabaran Ibu. Semoga semua segera berakhir, dan bapak menyadari kesalahannya, Bu!” seru Rista masih dalam pelukanku. Dia menghapus butiran bening yang sempat menetes dari sudut matanya.“Sudah. Sana kembali, nanti ada yang curiga jika kau terlalu lama di sini!”“Njih, Bu. Ibu yang kuat, ya!”
Aku mengangguk. Setelah kepergian Rista, dadaku terasa sesak. Aku tak sanggup langi menahan gerimis di mataku, kini akhirnya luruh juga. Aku terisak dalam diam.Peristiwa ini sengaja aku sembunyikan dari mas Andrian, aku tetap melayaninya dengan baik. Sikapnya tak pernah berubah, dia seorang suami dan ayah nomor satu. Seolah tak ada cela pada dirinya. Sehingga aku menjadi ragu akan cerita Rista. Namun, aku pun yakin, Rista berkata jujur padaku, untuk apa dia berbohong. Aku harus mengetahuinya sendiri apa yang sebenarnya terjadi.Aku ingin mendengar langsung dari mulut keduanya, biar aku tak salah melangkah. Jadilah aku menyusun suatu rencana untuk bertemu dengan mereka di tempat yang sudah ditentukan. Tentunya setelah mempunyai data-data tentang perselingkuhan mereka.Aku sudah siap dengan apa pun yang akan terjadi, jika memang tak bisa memiliki seutuhnya mas Andrian, aku rela karena sudah dua belas tahun memilikinya.Tanpa sepengetahuan mereka, aku mengikuti acara mereka yang katanya ada meeting di luar kota. Aku menunggunya hingga mereka selesai. Begitu mereka selesai meeting bersama kliennya, aku mendekati keduanya yang sedang makan malam. Sontak keduanya terkejut melihat aku sudah berdiri dekatnya. Terutama Maya yang menjadi salah tingkah. Kulihat mas Andrian mencoba untuk tenang saat melihatku. Ah, lelaki yang aku hormati kini berduaan dengan wanita lain. Sungguh aku terbakar cemburu.
“Eh, Rara. Sejak kapan kau di sini?”
Aku tersenyum, lalu duduk di depan keduanya.
“Mas, aku sudah tahu semuanya. Semua aku serahkan padamu untuk mengambil keputusan. Maya, kau perlu ketahui. Dari nol aku dan Mas Andrian berjuang hingga menjadi seperti sekarang. Dari susah hingga kini kami berlimpah. Bersyukurlah kamu yang menemukan suamiku sudah menjadi orang berada. Aku bersyukur sudah dua belas tahun melewati hari-hari indah bersamanya. Sekarang aku serahkan tanggung jawabku kepadamu. Temani dia dan jangan pernah kau sakiti hatinya.”
Andrian bangkit, menggapai tanganku.
“Ra, Maafkan aku, kau telah salah paham dengan semua ini.”“Tidak, Mas. Aku mempunyai semua bukti-buktinya.”“Kami tak pernah selingkuh, Ra. Maya adalah anak temanku. Dia dititipkan padaku karena orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Aku hanya menjalankan wasiatnya. Tak lebih, Ra.”“Benar, Bu. Aku tak ada hubungan apa-apa dengan Pak Andrian. Demi Allah, Bu!”Aku merasa malu, mas Andrian menceritakan semuanya padaku. Mataku pun terbuka, aku memeluk keduanya.“Ra, pulanglah! Ada hadiah untukmu, akan aku berikan nanti di rumah. Aku antarkan Maya terlebih dulu. Tunggu aku di rumah, ya!” Dia mengecupku lembut, mencium, dan memelukku erat, seolah tak ingin dilepaskannya.
Dua jam kemudian, aku mendapatkan telepon dari rumah sakit, mengabarkan jika mas Andrian mengalami kecelakaan sepulang dari mengantarkan Maya. Aku shock, seolah separuh jiwaku pergi.
“Tuhan, terima kasih, Kau telah berikan 12 tahun terindah bersamanya menjalani cinta. Kupikir tak ada yang dapat menukarnya dengan apapun di dunia ini. Cintanya akan hidup selamanya dalam hatiku.”
Aku taburkan bunga-bunga di atas gundukan tanah yang masih merah, setangkup doa kupanjatkan agar dia bahagia di sisi-Nya.
****
Silakan berkomentar dengan sopan
0 Komentar